Rabu, 28 Maret 2012

SISTEM KEAMANAN PADA BANK DAN MESIN ATM

Beberapa hari belakangan ini terjadi kasus pembobolan ATM di sejumlah bank besar Indonesia.


Berawal dari kasus penjebolan mesin ATM BCA di Bali. Nasabah tiba-tiba kehilangan uang tanpa melakukan transaksi. Penjebolan ATM atau skimming sebenarnya sudah lama terjadi, tidak hanya di Indonesia tapi juga di seluruh dunia. Bank-Bank di seluruh dunia terus berusaha menanggulangi kejahatan seperti ini. Yang jelas sistem keamanan harus bisa melampaui kelihaian para kriminal. Menurut Yanuar Rizky, pakar perbankan Indonesia, saat ini ada krisis kepercayaan nasabah dan bank-bank di Indonesia seharusnya mulai memperbaiki sistem keamanannya.
Sistemik
Yanuar menjelaskan ada dua masalah inti yang mengawali banyaknya pembobolan bank semacam ini di Indonesia. Pertama adalah kurang diurusnya sistem perbankan. Dengan adanya kejadian seperti ini, inilah saatnya otoritas mengurus sistemik itu. Ini disebut sistemik real, karena kalau bank saja tidak dipercaya masyarakat krisis akan berlanjut ke masalah krisis perbankan seperti yang ditakutkan sekarang ini.
Menurut Yanuar, seharusnya sekarang sudah ada pernyataan dari pemerintah atau Lembaga Penjamin Simpanan, bahwa masyarakat harus tenang. Jika uang hilang karena pembobolan, pasti akan dijamin dananya kembali.
Infrastruktur
Masalah kedua adalah dunia perbankan Indonesia harus memperkuat infrastrukturnya. Jika melihat banyaknya kejadian seperti pembobolan ATM, Yanuar menjelaskan perbankan Indonesia sebaiknya segera dilakukan audit sistem teknologi yang diterapkan seluruh perbankan. Kartu ATM yang ada saat ini masih belum cukup aman dari penggandaan kode rahasia.
Jika ingin lebih aman, seharusnya digunakan chip dalam kartu. Namun untuk menambahkan chip dalam kartu dibutuhkan dana yang besar, karena harganya mahal. Namun jika bank-bank Indonesia lebih peduli keamanan nasabah dari pada biaya produksi kartu dan strategi pemasaran luas, maka seharusnya kartu ATM bisa dibuat dengan sistem pengamanan yang lebih memadai.







Keamanan Perbankan, Dahulukan Prosedur Ketimbang Teknologi

Para nasabah belakangan dihantui kekhawatiran yang tinggi atas nasib simpanannya di bank menyusul peristiwa pembobolan rekening via ATM di beberapa kota. Pihak perbankan tampaknya kini mulai memperbaiki standar dan prosedur keamanannya. Namun, nasabah pun dituntut lebih hati-hati..
Pada pertengahan hingga akhir Januari 2010, Indonesia dihebohkan pembobolan banyak rekening nasabah bank, khususnya via mesin ATM (anjungan tunai mandiri). Hampir semua berita di berbagai media menurunkan headline kasus ini. Kasus bermula di Bali. Bank Indonesia (BI) mencatat ada 13 ATM milik enam bank yang rekening nasabahnya dibobol, yakni BCA, Bank Mandiri, BNI, BRI, Bank Permata dan BII. Bahkan, di salah satu bank, ada 236 rekening yang dibobol dengan kerugian mencapai Rp 4,1 miliar.
Belakangan, kasus pembobolan dana nasabah melalui ATM itu tidak hanya terjadi di Bali, melainkan juga di beberapa daerah, seperti Mataram, Medan, Yogyakarta, dan Jakarta. Diperkirakan total kerugian nasabah dari beberapa bank di sejumlah wilayah di Indonesia hingga tulisan ini dibuat telah mencapai lebih dari Rp 17,4 miliar.
Menurut Ruby Alamsyah, analis forensik digital, modus operandi yang dilakukan para pembobol ATM ini adalah dengan teknik skimming atau pencurian data magnetic stripe kartu ATM yang dikombinasikan dengan PIN capture (pengintipan personal identity number). Pelaku menyiapkan satu set alat skimmer yang dipasang di mulut ATM untuk mengopi data kartu ATM. Adapun untuk mencuri PIN nasabah, pelaku memasang spy cam yang diarahkan ke keypad.Ada juga yang menggunakan keypad palsu, sehingga meskipun ditutup tangan tetap terekam,ungkap Ruby.Jadi, ini bukan cyber crime, tetapi lebih ke physical crime. Pelaku tidak perlu mengerti TI. Kalau cyber crime sudah menyentuh sistem, sedangkan pelaku pada kasus pembobolan ATM tidak menyentuh sistem, skimmer berada di luar (sistem).
Apa pun bentuk kejahatannya, tentu saja kondisi itu cukup mengkhawatirkan, karena bisa menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap masalah keamanan (security) perbankan nasional. Betulkah banking security nasional begitu rentan terhadap upaya pembobolan? “Overall, sistem keamanan perbankan Indonesia sudah bagus, tetapi celah keamanannya belum dipreventifkan secara sempurna,” kata Ruby. Sebenarnya teknologi atau sistem keamanan transaksi yang digunakan perbankan di Indonesia sudah cukup bagus,Aswin Wirjadi, mantan Wakil Presdir BCA, mengimbuhi dalam kesempatan lain.
Bahkan, untuk mobile dan Internet banking, menurut Ruby dan Aswin, sistem teknologi yang diadopsi perbankan nasional sudah lebih canggih. Internet banking di Indonesia menggunakan sistem autentikasi yang jauh lebih bagus. “End to end dari PC atau handphone sampai ke servernya, dijaga full. Jika ada yang meng-crack di tengah-tengahnya, tidak bisa membaca datanya secara penuh,” ujar Ruby.
Sistem keamanan transaksi via Internet di perbankan Indonesia menggunakan token, yakni alat verifikasi transaksi. Dengan token ini relatif aman, karena menggunakan dynamic password. Faktor variabelnya yaitu tanggal dan berapa kali melakukan transaksi, sehingga akan berubah terus. “Sejak ada token ini, belum pernah dengar ada pembobolan,” kata Aswin. Untuk mobile banking, lebih sulit lagi dibobol, karena autentikasinya menggunakan nomor ponsel yang didaftarkan ke provider dan perbankan.
Salah satu bank yang cukup masif dalam pemanfaatan teknologi informasi adalah BCA. Diklaim Jeffrey Sukardi, Head of IT Security Group BCA, sistem pengamanan transaksi melalui ATM di BCA sudah sesuai dengan standar perbankan internasional, yaitu dengan menggunakan kartu magnetik dan PIN. Karena itu, kartu ATM BCA dapat digunakan di mesin ATM bank lain, termasuk di luar negeri. Adapun pada Internet banking, BCA merupakan salah satu pelopor penggunaan dynamic password dengan KeyBCA (token) sejak 2002.Pada saat sebagian besar bank-bank lain di dunia masih menggunakan password statis untuk sistem Internet banking, BCA telah menggunakan dynamic password, ujarnya bangga.
Ironisnya, BCA termasuk bank yang paling banyak menderita pembobolan dana nasabah di ATM. Jeffrey menjelaskan, dari hasil analisis database menunjukkan bahwa pada kasus ATM skimming Januari lalu, PIN semua korban direkam di Bali pada akhir 2008. Jadi, pelaku kejahatan mengumpulkan PIN dan data kartu para korban pada akhir 2008. “Dan pada Januari 2010 barulah mereka memakainya untuk menarik dana dari rekening korban.
Sebenarnya, lanjut Jeffrey, pihaknya telah melakukan antisipasi sejak awal 2009 dengan memasang PIN pad cover dan alat pengaman lainnya.Kini semua ATM BCA sudah dilengkapi dengan PIN pad cover, anti-skimmer dan jitter untuk menjamin keamanan nasabah, ujarnya. Selain itu, kini pihaknya gencar melakukan edukasi cara bertransaksi yang aman. Ia berharap, nasabah bank di Indonesia lebih sadar bahwa PIN adalah kunci rekeningnya. Jadi, PIN mereka harus dilindungi dan tidak boleh diberitahukan kepada siapa pun. Kalau bisa bobol, berarti ada orang lain yang mengetahui PIN nasabah, tambahnya.
Selain masalah PIN yang bisa diintip, pembobolan dana nasabah melalui ATM juga dimungkinkan karena sarananya (kartu) yang bisa dibobol. Menurut Paul S. Hasjim, Direktur Operasi & Ti Bank CIMB Niaga, suatu transaksi melalui kartu tidak bisa mengandalkan teknologi magnetik. Sebab, kelemahan menggunakan teknologi magnetik ini datanya bisa dikopi.PIN dari (pihak) bank tidak bisa diambil (dicuri informasinya). Tetapi kalau diambil dengan video (candid camera), tentu bisa, ucap Paul.
Diakui Paul, keamanan di booth ATM CIMB Niaga sudah dilakukan. Namun, alat pengaman untuk mencegah modus skimmer itu belum bisa diimplementasi di seluruh ATM milik Bank CIMB Niaga. Ini berkaitan dengan tingginya biaya yang harus dikeluarkan, sehingga mesti dilakukan secara bertahap. Saat ini, prioritasnya di lokasi-lokasi terpencil, yang memungkinkan ATM itu dipasangi alat skimmer.
Untuk transaksi mobile dan Internet banking, Paul mengklaim tingkat keamanannya terjamin. Menurutnya, untuk keamanan transaksi melalui mobile dan Internet banking, banknya sudah menggunakan teknologi Secure Sockets Layer (SSL). Selain itu, supaya lebih aman, pihaknya juga telah menggunakan soft token lewat M-Pin, yang akan dikirimkan via SMS. Tambahan M-Pin tersebut hanya bisa dipakai sekali dan berlaku selama seminggu. “Ada user ID dan password yang statis dan ada juga yang dinamis, yaitu M-Pin. Jadi, kombinasi,” ujarnya. Jadi, untuk keamanan transaksi mobile dan Internet banking di CIMB Niaga ini ada tiga lapis, yakni user ID dan password, individual keyword yaitu pertanyaan seputar nasabah dan hanya dia yang tahu (misalnya, apa hobinya)dan M-Pin.
Menurut Ruby, dalam sistem keamanan perbankan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu celah keamanan, ancaman dan solusi. Untuk ATM, celah keamanannya yaitu kartu ATM yang masih magnetik sehingga mudah dikopi datanya. Adapun ancamannya: skimmer yang dipasang di ATM. Dengan begitu, solusi sederhananya adalah minimal memasang anti-skimming sebagai antisipasi untuk menghindari kejahatan ATM. “Untuk penyedia jaringan ATM seperti Artajasa dan Rintis, mereka tidak bisa bertanggung jawab, mereka hanya menyediakan jasa networkinng Ruby menjelaskan.
Pernyataan Ruby tentu diiyakan Iwan Setiawan, Presiden Direktur PT Rintis Sejahtera penyedia jaringan ATM dan Debit Prima (Prima EFT Switching). Ia menyebutkan posisi perusahaannya lebih sebagai perantara/intermediasi yang melaksanakan pengelolaan jaringan transaksi elektronik antar-anggota (bank peserta) dan penyelesaian transaksinya.Jadi adanya pembobolan uang melalui ATM, itu terjadi di ranah operasional, bukan di ranah sistem kami. Sebab, secara sistem sama sekali tidak ada kebocoran, kata Iwan.
Dijelaskan Iwan, setiap tahap kerja transaksi dalam jaringan sangat aman karena data yang dikirimkan dalam keadaan terenkripsi. Siklus transaksi melalui Prima EFT Switching sebagai prinsipal meliputi lima tahap. Pertama, kartu ATM milik Bank Peserta Prima A (issuing bank) digunakan di mesin ATM milik Bank Peserta Prima B (acquiring bank). Kedua, acquiring bank akan memverifikasi BIN (bank identification number). Ketiga, dari BIN tersebut acquiring bank selanjutnya mengidentifikasi ke mana mereka harus mengarahkan transaksi tersebut. Dalam hal ini, acquiring bank akan me-routing transaksi ke Prima dengan cara mengirim data transaksi kartu (nomor kartu dan PIN) dan jenis transaksi ke Prima. Data yang dikirim itu dalam keadaan terenkripsi. Keempat, data yang diterima dari acquiring bank oleh Prima akan diverifikasi dan diteruskan ke issuing bank untuk mendapatkan approval dan authorization. Kelima, approval dan authorization dari issuing bank dikirim ke Prima dan selanjutnya diteruskan ke acquiring bank. “Jadi, semuanya sangat aman karena dalam keadaan terenkripsi, ujar Iwan menegaskan.
Lebih lanjut, Iwan menjelaskan, sebagai switcher, Prima selalu menekankan aspek security. Dari segi infrastruktur jaringan komunikasi, jaringan yang menghubungkan host Prima dengan issuing dan acquiring bank menggunakan jaringan private yang tertutup. Data PIN yang dikirim juga dalam keadaan terenkripsi. Sementara indentifikasi dan otorisasi transaksi nasabah tetap dilaksanakan issuing bank dan setiap bank peserta diwajibkan menggunakan sistem pengamanan dari Prima, regulator, dan international benchmarking, seperti firewall dan hardware security module (HSM). Termasuk, melakukan uji coba dengan bank peserta sebelum menjalankan fitur transaksi Prima. “Sebenarnya, sejak tahun lalu kami sudah mengingatkan pihak bank peserta Prima untuk mengantisipasi masalah yang muncul dengan memasang PIN cover dan anti-skiming di mesin ATM. Tetapi kadang perbankan membutuhkan waktu untuk menerapkan ini, kata Iwan.
Lantas, bagaimana solusinya agar pembobolan dana nasabah melalui ATM tidak terjadi lagi di waktu mendatang? Selain langkah pragmatis melengkapi ATM dengan perangkat anti-skimmer, pad cover dan kamera CCTV, semua pihak pun sepakat teknologi yang digunakan untuk kartu ATM ini harus sudah diganti. Jadi, bukan lagi magnetic stripe, tetapi sudah harus beralih ke chip card –seperti halnya untuk kartu kredit yang sudah menggunakan teknologi chip. Namun, untuk kartu debit seperti kartu ATM, pihak perbankan masih menunggu regulasi dan standar yang ditetapkan BI. “Kuncinya mesti pindah ke chip. Dengan adanya kejadian di Bali, diharapkan BI bisa segera mengeluarkan standarnya untuk penggunaan chip,” ujar Paul.
Akan tetapi, tentu saja, beralih ke teknologi chip card ini tidak mudah dan tidak murah. Pasalnya, di Indonesia diperkirakan ada sekitar 60 juta kartu. Jika masing-masing kartu harganya US$ 2, dana yang dibutuhkan mencapai US$ 120 juta, alias lebih dari Rp 1 triliun. Selain harus mengganti kartu, semua ATM pun harus dilengkapi chip card reader yang harganya minimum US$ 400. Padahal, di Indonesia ada lebih dari 30 ribu ATM. Jadi, untuk ATM pun butuh investasi sekitar Rp 1 trilun.
Selain butuh biaya yang besar, konversi dari magnetic stripe ke chip card ini pun butuh waktu yang lama. Ketika kartu kredit diwajibkan menggunakan chip card butuh waktu tiga tahun, dengan jumlah kartu sekitar 12 juta. Dan ketika masa transisi tersebut sistem tetap terbuka, sehingga kemungkinan munculnya kejahatan-kejahatan itu tetap masih ada. “Untuk itu, harus ada strategi jangka pendek, menengah dan
panjang, Tidak bisa cuma satu solusi
Aswin menyarankan, pihak bank harus lebih awas. Maksudnya, pihak bank harus memiliki konsep monitoring yang kuat. Transaksi-transaksi yang mencurigakan, seperti selalu mengambil uang dan transfer dalam jumlah maksimum yang ditentukan, harus diperhatikan. “Pengamanan tidak hanya dari sisi teknologi, tapi juga dalam prosedur,” ujarnya tegas. Selain itu, ATM juga harus sering diperiksa: apakah ada pemasangan alat-alat tertentu, seperti skimmer atau kamera. Juga, perlu ada reminder kepada nasabah untuk melakukan pergantian PIN secara berkala, 2-3 bulan sekali diganti. “Dengan ini bisa lebih aman tanpa harus mengeluarkan biaya yang sangat tinggi.”
Nasabah sendiri, imbuh Ruby, dalam melakukan transaksi harus berhati-hati. Misalnya,
melihat apakah ada mesin skimmer, atau kamera tersembunyi. Termasuk dalam menjaga kerahasiaan PIN. Selain itu, diupayakan bisa melakukan transaksi di ATM yang ada di dalam bank, atau paling tidak di tempat keramaian. “Regulator, dalam hal ini BI, harus sudah menerapkan aturan di mana ada waktunya pihak bank untuk diaudit sistem keamanannya, sesuai dengan standar internasional. Regulator harus meningkatkan kontrol dan menjaga hasil audit, jangan sampai bocor, kata Ruby mengimbau.
Tentu saja, jika fasilitas transaksi perbankan seperti ATM — yang sekarang sudah menjadi bagian dari hajat hidup orang banyak — terjamin keamanannya, nasabah pun bisa kembali tenang. (*)
Solusi Meningkatkan Keamanan Transaksi Perbankan
Pihak Bank :

o Melengkapi ATM dengan pengaman tambahan seperti anti-skimmer, pad cover dan kamera CCTV
o Mengganti teknologi kartu dari magnetic stripe ke chip card
o Memeriksa mesin ATM secara berkala, terutama adanya pemasangan alat-alat penyadap PIN
o Meningkatkan monitoring terhadap transaksi-transaksi yang mencurigakan
o Mengaudit sistem keamanan secara rutin
o Mengedukasi dan mengingatkan nasabah akan pentingnya menjaga keamanan PIN
o Menyiapkan strategi keamanan jangka pendek, menengah dan panjang
Pihak Nasabah :

o Selalu waspada ketika bertransaksi di ATM untuk memperhatikan apakah ada alat skimmer ataupun penyadap lainnya
o Selalu menjaga kerahasiaan nomor PIN
o Mengupayakan bertransaksi di ATM yang ada di dalam cabang bank
o Secara berkala, misalnya 2-3 bulan sekali, mengganti PIN
o Memindahkan cara transaksi ke Internet banking yang menggunakan token, yang jelas lebih aman
Pihak Bank Indonesia :

o Menyiapkan standar penggunaan teknologi chip card untuk kartu ATM
o Mewajibkan bank mengaudit sistem keamanan secara berkala
o Menjaga hasil audit dari kebocoran
o Melakukan edukasi pada masyarakat
o Menyiapkan strategi keamanan perbankan nasional dalam jangka pendek, menengah dan panjang

Sumber : Google,Wikepedia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar